Jumat, 04 Oktober 2019

Aku Trauma Menulis

Memiliki pengalaman yang pahit atau tak mengenakkan, terkadang membuat kita takut. Tak ingin mengulang pengalaman buruk. Belum cukup nyali untuk melawan keraguan dan pada akhirnya membuat kita berhenti. Tak mau mencobanya lagi. Padahal belum tentu jika kita mencobanya lagi akan berakhir dengan kisah yang sama.

Sama seperti anak yang sedang belajar berjalan, berkali-kali ia terjatuh dan mungkin terluka. Tapi kalau sekali terjatuh dan berhenti mencoba. Bagaimana sang anak bisa berjalan? Apalagi berlari seperti teman-temannya yang asyik berlarian mengejar bola. Ia hanya akan duduk di tepi menjadi penonton. Jadi tak boleh patah semangat, harus dicoba lagi. Semakin sering terjatuh, kita anak semakin kuat dan tau caranya untuk bangkit.

Itulah yang sedang saya renungkan. Suggesti yang berusaha saya tanamkan dalam diri saya. Untuk melawan trauma. Perasaan takut, malas dan tak bersemangat untuk menulis karena saya memiliki pengalaman yang tak mengenakkan sebelumnya. Kalau saya tidak berusaha melawan rasa takut dan malas, selamanya saya akan menjadi pembaca, bukan penulis.

Dulu, saat saya masih sekolah SD dan SMP, saya suka sekali menulis. Saat SD saya jago mengarang cerita untuk tugas bahasa Indonesia. Terutama saat menggambarkan setting tempat dan peristiwa, saya bisa membuat teman-teman saya penasaran dan terpesona dengan tempat yang saya ceritakan lewat tulisan. Seperti dunia fairy tail. Imaginasi saya tumbuh tinggi. Rasa-rasanya bikin skenario film tuh berasa gampang saat itu. hehehe

Kemudian saat saya SMP, saya mendadak menjadi pujangga. Tiada hari tanpa menulis puisi. Dalam sehari saya bisa menulis 2 bahkan pernah menulis 5 puisi dengan tema yang berbeda. Saya menuliskan karya puisi dalam sebuah buku tulis kala itu. Jadi seperti buku kumpulan puisi. Tapi sayangnya, saat itu saya tidak tau bagaimana caranya mempublikasikan  karya puisi ke majalah atau mengirimnya ke penerbit.

Buku kumpulan puisi itu, saya nikmati sendiri bersama teman-teman. Jika ada pentas seni di sekolah, biasanya teman saya pinjam buku puisi saya untuk ia baca di atas panggung. Saya gak PD membaca puisi disaksikan banyak orang, jadi saya relakan teman saya yang membacanya. Walaupun nama saya tidak disebut, saya senang sekali puisi yang saya tulis didengar banyak orang dan mendapatkan tepuk tangan.

Tapi pernah ada pengalaman tidak mengenakkan, yang membuat saya seperti trauma untuk menulis. Saat pelajaran bahasa Indonesia dan ada tugas menulis puisi, terkadang beberapa teman mencontek puisi dari buku kumpulan puisi saya untuk dikumpulkan sebagai tugas mereka. Sebenarnya saya keberatan, tapi sungkan untuk melarang. Hal itu sering sekali terjadi. 

Bahkan, seorang teman pernah meminjam buku kumpulan puisi saya untuk di bawa pulang ke rumah. Katanya saudara sepupunya ada tugas menulis puisi tapi tidak bisa buat, jadi ingin membaca puisi saya untuk dipilih dan dicontek. Lagi-lagi saya gak enak. Ujung-ujungnya saya memperbolehkan buku itu dibawa pulang. Buku yang izin dipinjam 3 hari, sampai 1 minggu lebih tak kunjung kembali. Ketika saya tagih, teman saya bilang kalau buku saya hilang.

Duh, sedih dan kecewa sekali saat itu. Susah sekali saya menjelaskan bagaimana terlukanya hati saya. Saya sampai menangis setiap malam. Rasanya percuma saya nulis. Nama saya tak pernah disebut ketika puisi dibacakan di acara pensi, karya saya dicontek dan parahnya lagi dihilangkan. Nyeseeek banget. Belum sempat satu judul pun saya kirim ke majalah, eh sudah hilang sebuku-bukunya. Kalau kata netizen zaman now, luka tapi gak berdarah.TT

Saya mengerti bahwa saya juga bersalah. Saya tidak menyadari pentingnya hak cipta sebagai salah satu cara untuk menghargai karya sendiri maupun orang lain. Ketika kita bisa menghargai karya kita sendiri, maka orang lain juga akan belajar menghargai karya kita, dan ketika kita merasa karya yang kita buat dihargai tentu akan lebih semangat lagi dalam berkarya.

Sejak saat itu, saya takut untuk menulis. Rasanya tidak semangat. Percuma saya menulis, tak diapresiasi dan hilang lagi entah kemana. Setiap saya coba untuk menulis lagi, rasanya susah sekali mencari inspirasi. Gak tau mau nulis apa, mulai dari mana.

Ingin sekali rasanya bisa berkarya kembali lewat tulisan. Namun, bagi saya saat ini, menulis itu tidak mudah. Terasa sulit untuk menghadirkan semangat, konsistensi  dan inspirasi untuk menulis, terkadang bingung juga mau mulai dari mana.

Saya sadar bahwa gak ada yang instan di dunia ini. Pengen makan indomie aja harus rebus air dulu sampe mendidih baru masukin telur, mie dan sayur, tiriskan dan aduk dengan bumbu di piring. Baru deh sepiring indomie yang lezat bisa dimakan. Pada intinya, segala sesuatu itu perlu proses. Cepat atau lambat proses itu berjalan, tergantung semangat dan kesiapan kita untuk mencoba.

Memang itu tak mudah, tapi harus dicoba. Seperti sekarang, saya mencoba menulis lagi. Pengalaman bergabung di kelas Nulisyuk Batch 12 adalah langkah awal saya untuk melawan trauma menulis. Setiap minggu ada challenge menulis. Mau tak mau, bisa tak bisa saya harus menulis. Saya tau tulisan saya belum bagus, masih banyak kekurangan. Tapi tak apa, ini adalah bagian dari proses. Ketika ada project menulis buku antologi, saya menjual buku yang di dalamnya ada tulisan saya dan akhirnya buku itu dibeli oleh beberapa orang. Rasanya bahagia sekali. Karya saya dan teman-teman diapresiasi.

Pengalaman itu cukup menjadi obat luka atas trauma yang saya rasakan. Kini saya ingin sekali bisa menulis lagi dengan lincah dan mengalir hingga melahirkan banyak karya yang bermanfaat seperti penulis lainnya. Saya harus melanjutkan proses, kembali menulis, lebih sering, lebih konsisten dan belajar dari setiap pengalaman. Jangan mudah putus asa. Tak apa saat ini tulisannya belum bagus. Asal terus berlatih insyaAllah piawai. 

Sebagaimana mengayuh sepeda, tak apa masih jauh, asal konsisten mengayuh dan bersemangat, insyaAllah akan sampai ke tujuan. Dan ada satu hal yang saya pelajari, membawa manfaat ternyata jauuuh lebih membahagiakan dari pada mendapatkan pujian atau apresiasi dari makhluk ciptaan Allah. Jadi, yuk kita nulis lagi. :)

#nulisyuk #belajarmenulis #nulisyukbatch37

Rabu, 03 September 2014

PROSES BERFIKIR KREATIF

Gambaran mengenai bagaimana dan kapan proses kreatif sedang berjalan sangat abstrak untuk dijelaskan. Proses kreatif berjalan dengan misterius, personal dan subjektif. Meskipun demikian, untuk berpikir kreatif terdapat pola-pola berulang yang sama.
Wallas dalam Solso (1998) mengemukakan bahwa sebelum dihasilkan suatu produk kreatif, ada empat tahap dalam proses kreatif yang harus dilalui, yaitu tahap persiapan, tahap inkubasi, tahap iluminasi dan tahap verifikasi.


Penjelasan singkat tahap-tahap tersebut sebagai berikut.
  1. Tahap Persiapan

Tahap ini merupakan tahap pengumpulan informasi atau data yang diperlukan untuk memecahkan suatu masalah, Berbekal ilmu pengetahuan dan pengalaman, individu menjajaki bermacam-macam kemungkinan penyelesaian masalah. Memang, di sini belum ada arahan yang tentu atau tetap, akan tetapi alam pikirannya mengeksplorasi bermacam-macam alternatif. Pada tahap ini pemikiran divergen atau pemikiran kreatif sangat dibutuhkan.

2.  Tahap Inkubasi
Tahap ini adalah tahap dieraminya proses pemecahan masalah dalam alam prasadar. Tahap ini berlangsung dalam waktu tidak menentu, bisa lama (berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun), dan bisa juga hanya sebentar (hanya beberapa jam, menit, atau detik saja). Dalam tahap ini ada kemunginan terjadi proses pelupaan terhadap konteksnya dan akan teringat kembali pada saat berakhirnya tahap pengeraman dan munculnya masa berikutnya.

3.  Tahap Iluminasi
Tahap ini adalah tahap munculnya inspirasi atau gagasan-gagasan untuk memecahkan masalah. Dalam tahap ini muncul bentuk-bentuj cetusan spontan, seperti digambarkan oleh Kohler dengan kata-kata “now I see” yang berarti “oh ya”.

4. Tahap Verifikasi
Tahap ini disebut juga tahap evaluasi, yaitu suatu tahap ketka ide atau kreasi baru tersebut harus diuji terhadap realitas. Tahap ini membutuhkan pemikiran kritis dan konvergen. Pada tahap ini proses divergensi (pemikiran kreatif) harus diikuti oleh pemikiran konvergensi (pemikiran kritis). Pemikiran dan sikap spontan harus diikuti oleh kritik. Firasat harus diikuti sikap hati-hati dan imajinasi oun harus diikuti oleh pengujuan terhadap realitas.
Guilford dalam Fahoroh (1990) menjelaskan bahwa ada lima tahapan dalam berpikir kreatif.

Berikut ini adalah kelima tahapannya :
  •  Memahami masalah

Orang-orang yang kreatif biasanya memiliki kepekaan istimewa terhadap masalah. Mereka selalu bertanya dan cenderung mencari sendiri masalah-masalah daripada menunggu orang lain menyodorkan masalah untuk mereka pecahkan. Mereka senang memilih tujuan yang menantang dan akan berusaha mencapainya sampai berhasil, sejauh usaha itu memberi peluang bagi munculnya ide-ide baru.

  •  Merumuskan masalah

Orang-orang yang kreatif lebih toleran menghadapi ketidakpastian. Namun, umumnya mereka cenderung mencoba merumuskan sendiri suatu masalah sehingga masalah itu menjadi bermakna, dalam arti membuka kesempatan bagi mereka untuk menemukan jawaban-jawaban yang imajinatif dan orisinal.

  •  Mengedepankan pikiran

Orang-orang yang kreatif pandai menemukan ide-ide yang orisinal. Mereka tidak segera mengerjakan hipotesis secara intuitif sebelum menyelidiki fakta-fakta. Ide mereka bermacam-macam dan terus mengalir, sedangkan fantasi dan imajinasi mereka luas biasa. Orang-orang yang kreatuf tidak takut menggantikan yang biasa dengan yang tidak biasa untuk menghasilkan sesuatu yang sama sekali baru.

  • Iluminasi atau pencerahan

Dalam psikologi hal ini disebut AHA-erlebnis. Pengalaman AHA ialah rasa lega yang menyertai dicapainya insight atau pencerahan dalam memecahkan masalah secara tiba-tiba. Orang-orang yang kreatif biasanya akan mengerahkan energi yang lebih besar lagi. Mereka ingin segera melihat hasil usaha pada tahap pengendapan pikiran.

  • Evaluasi

Tahap ini menimbulkan kesan sebagai unsir yang tidak kreatif. Pada tahap ini, kenyataannya orang-orang yang kreatif biasanya senang menyelidiki segala dampak atau akibat dari ide-ide dan ciptaan mereka dengan cara mengevaluasinya kembali ke permulaan.


Sumber 

Ghufron, M.Nur dan Rini Risnawita S. 2010. Teori-Teori Psikologi. Jogjakarta : Ar-Ruzz Media

Senin, 30 Juni 2014

Mengejar Asa


Di ruang ini,
Aku bebas berimajinasi,
Aku bebas menggali,
timbunan harta tanpa harga.

Berbaring,
terpaku menatap birunya langit,

menikmati lelah mengejar asa.
Semilir angin,
tak kuasa membendung bahagianya hati,
yang sedari tadi tenggelam dalam susunan alfabet.
Untuk difahami, setepat mungkin.


Masa yang indah,
bibir terus melafal, 
ketika mata menangkap kata.
Berusaha mengejar asa
I Loveeee it 



Pipin Fajar P L