Memiliki pengalaman yang pahit atau tak mengenakkan,
terkadang membuat kita takut. Tak ingin mengulang pengalaman buruk. Belum cukup
nyali untuk melawan keraguan dan pada akhirnya membuat kita berhenti. Tak mau
mencobanya lagi. Padahal belum tentu jika kita mencobanya lagi akan berakhir
dengan kisah yang sama.
Sama seperti anak yang sedang belajar berjalan,
berkali-kali ia terjatuh dan mungkin terluka. Tapi kalau sekali terjatuh dan
berhenti mencoba. Bagaimana sang anak bisa berjalan? Apalagi berlari seperti teman-temannya yang asyik berlarian mengejar bola. Ia hanya akan duduk di tepi
menjadi penonton. Jadi tak boleh patah semangat, harus dicoba lagi. Semakin
sering terjatuh, kita anak semakin kuat dan tau caranya untuk bangkit.
Itulah yang sedang saya renungkan. Suggesti yang
berusaha saya tanamkan dalam diri saya. Untuk melawan trauma. Perasaan takut,
malas dan tak bersemangat untuk menulis karena saya memiliki pengalaman yang
tak mengenakkan sebelumnya. Kalau saya tidak berusaha melawan rasa takut dan
malas, selamanya saya akan menjadi pembaca, bukan penulis.
Dulu, saat saya masih sekolah SD dan SMP, saya suka
sekali menulis. Saat SD saya jago mengarang cerita untuk tugas bahasa
Indonesia. Terutama saat menggambarkan setting tempat dan peristiwa, saya bisa
membuat teman-teman saya penasaran dan terpesona dengan tempat yang saya
ceritakan lewat tulisan. Seperti dunia fairy tail. Imaginasi saya tumbuh tinggi.
Rasa-rasanya bikin skenario film tuh berasa gampang saat itu. hehehe
Kemudian saat saya SMP, saya mendadak menjadi
pujangga. Tiada hari tanpa menulis puisi. Dalam sehari saya bisa menulis 2
bahkan pernah menulis 5 puisi dengan tema yang berbeda. Saya menuliskan karya
puisi dalam sebuah buku tulis kala itu. Jadi seperti buku kumpulan puisi. Tapi
sayangnya, saat itu saya tidak tau bagaimana caranya mempublikasikan karya puisi ke majalah atau mengirimnya ke
penerbit.
Buku kumpulan puisi itu, saya nikmati sendiri bersama
teman-teman. Jika ada pentas seni di sekolah, biasanya teman saya pinjam buku
puisi saya untuk ia baca di atas panggung. Saya gak PD membaca puisi disaksikan
banyak orang, jadi saya relakan teman saya yang membacanya. Walaupun nama saya
tidak disebut, saya senang sekali puisi yang saya tulis didengar banyak orang
dan mendapatkan tepuk tangan.
Tapi pernah ada pengalaman tidak mengenakkan, yang membuat saya seperti
trauma untuk menulis. Saat
pelajaran bahasa Indonesia dan ada tugas menulis puisi, terkadang beberapa
teman mencontek puisi dari buku kumpulan puisi saya untuk dikumpulkan sebagai
tugas mereka. Sebenarnya saya keberatan, tapi sungkan untuk melarang. Hal itu
sering sekali terjadi.
Bahkan, seorang teman pernah meminjam buku kumpulan
puisi saya untuk di bawa pulang ke rumah. Katanya saudara sepupunya ada tugas
menulis puisi tapi tidak bisa buat, jadi ingin membaca puisi saya untuk dipilih
dan dicontek. Lagi-lagi saya gak enak. Ujung-ujungnya saya memperbolehkan buku
itu dibawa pulang. Buku yang izin dipinjam 3 hari, sampai 1 minggu lebih tak
kunjung kembali. Ketika saya tagih, teman saya bilang kalau buku saya hilang.
Duh, sedih dan kecewa sekali saat itu. Susah sekali
saya menjelaskan bagaimana terlukanya hati saya. Saya sampai menangis setiap
malam. Rasanya percuma saya nulis. Nama saya tak pernah disebut ketika puisi
dibacakan di acara pensi, karya saya dicontek dan parahnya lagi dihilangkan.
Nyeseeek banget. Belum sempat satu judul pun saya kirim ke majalah, eh sudah
hilang sebuku-bukunya. Kalau kata netizen zaman now, luka tapi gak berdarah.TT
Saya mengerti bahwa saya juga bersalah. Saya tidak
menyadari pentingnya hak cipta sebagai salah satu cara untuk menghargai karya sendiri
maupun orang lain. Ketika kita bisa menghargai karya kita sendiri, maka orang
lain juga akan belajar menghargai karya kita, dan ketika kita merasa karya yang
kita buat dihargai tentu akan lebih semangat lagi dalam berkarya.
Sejak saat itu, saya takut untuk menulis. Rasanya
tidak semangat. Percuma saya menulis, tak diapresiasi dan hilang lagi entah
kemana. Setiap saya coba untuk menulis lagi, rasanya susah sekali mencari
inspirasi. Gak tau mau nulis apa, mulai dari mana.
Ingin sekali rasanya bisa berkarya kembali lewat
tulisan. Namun, bagi saya saat ini, menulis itu tidak mudah. Terasa sulit untuk
menghadirkan semangat, konsistensi dan
inspirasi untuk menulis, terkadang bingung juga mau mulai dari mana.
Saya sadar bahwa gak ada yang instan di dunia ini.
Pengen makan indomie aja harus rebus air dulu sampe mendidih baru masukin
telur, mie dan sayur, tiriskan dan aduk dengan bumbu di piring. Baru deh sepiring
indomie yang lezat bisa dimakan. Pada intinya, segala sesuatu itu perlu proses.
Cepat atau lambat proses itu berjalan, tergantung semangat dan kesiapan kita
untuk mencoba.
Memang itu tak mudah, tapi harus dicoba. Seperti
sekarang, saya mencoba menulis lagi. Pengalaman bergabung di kelas Nulisyuk
Batch 12 adalah langkah awal saya untuk melawan trauma menulis. Setiap minggu
ada challenge menulis. Mau tak mau, bisa tak bisa saya harus menulis. Saya tau
tulisan saya belum bagus, masih banyak kekurangan. Tapi tak apa, ini adalah
bagian dari proses. Ketika ada project menulis buku antologi, saya menjual buku
yang di dalamnya ada tulisan saya dan akhirnya buku itu dibeli oleh beberapa
orang. Rasanya bahagia sekali. Karya saya dan teman-teman diapresiasi.
Pengalaman itu cukup menjadi obat luka atas trauma
yang saya rasakan. Kini saya ingin sekali bisa menulis lagi dengan lincah dan
mengalir hingga melahirkan banyak karya yang bermanfaat seperti penulis
lainnya. Saya harus melanjutkan proses, kembali menulis, lebih sering, lebih
konsisten dan belajar dari setiap pengalaman. Jangan mudah putus asa. Tak apa
saat ini tulisannya belum bagus. Asal terus berlatih insyaAllah piawai.
Sebagaimana mengayuh sepeda, tak apa masih jauh, asal konsisten mengayuh dan
bersemangat, insyaAllah akan sampai ke tujuan. Dan ada satu hal yang saya pelajari,
membawa manfaat ternyata jauuuh lebih membahagiakan dari pada mendapatkan
pujian atau apresiasi dari makhluk ciptaan Allah. Jadi, yuk kita nulis lagi. :)
#nulisyuk #belajarmenulis #nulisyukbatch37